Opini

Pastikan Anda Masuk dalam Daftar Pemilih

Pastikan Anda Masuk dalam Daftar Pemilih Memilih menjadi sebuah keharusan guna turut berpartisipasi pada penguatan integrasi bangsa / daerah. Oleh : Mahmud / anggota KPU Banggai Memilih tidak hanya dimaknai sebagai penentuan dukung mendukung, tapi lebih jauh memilih harus difahami sebagai momen mentransformasikan kedaulatan dan kekuasaan rakyat kepada calon pemimpin yang layak mengemban amanah kekuasaan tersebut. Maka penting kiranya memastikan diri apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Tahapan daftar pemilih sedang bergerak terus, khususnya daftar pemilih tambahan (DPTb). Terkait DPTb, ada 10 kriteria pemilih tambahan, antara lain : Menjalankan tugas di tempat lain pada saat hari pemungutan suara. Menjalani rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan dan keluarga yang mendampingi. Penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial atau panti rehabilitasi. Menjalani rehabilitasi narkoba. Menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, atau terpidana yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi. Pindah domisili. Tertimpa bencana alam. Bekerja di luar domisilinya. Keadaan tertentu di luar dari ketentuan di atas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemilih nantinya yang terdaftar pada DPTb dpt menggunakan hak pilihnya untuk memilih : Pertama, calon anggota DPR jika pindah memilih ke kab/kota lain di dalam 1 Provinsi dan Daerah pemilihan DPR Kedua, calon anggota DPD jika pindah memilih ke kab/kota lain di dalam 1 provinsi Ketiga, pasangan calon presiden dan wakil presiden jika pindah memilih ke provinsi atau pindah memilih ke suatu negara Keempat, calon anggota DPRD Provinsi jika pindah memilih ke kecamatan atau kab/kota lain di dalam 1 Provinsi dan daerah pemilihan DPRD Provinsi Kelima, calon nggota DPRD Kabupaten/kota jika pindah memilih ke desa/kelurahan atau kecamatan lain di dalam 1 kabupate /kota dan daerah pemilihan DPRD Kabupaten/kota. Selain itu, pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT dan DPTb tetapi memenuhi syarat sebagai pemilih dapat masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Kriteria DPK antara lain : Dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP-el. Menggunakan hak pilih di TPS sesuai dengan alamat tertera dalam KTP-el. Pada saat hari pemungutan suara dicatat oleh KPPS dalam daftar hadir di TPS dan dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota setempat.

Bahaya Politik Uang Terhadap Pemilu dan Demokrasi.

Oleh Supriadi Lawani (Anggota KPU Kabupaten Banggai Periode 2018-2023) Tentang Politik Uang Politik uang beberapa tahun terakhir ini banyak diperbincangkan sebagai suatu ancaman yang sangat nyata terhadap demokrasi bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia internasional. Banyak forum –forum resmi telah mendiskusikan isu politik uang ini bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa politik uang merupakan suatu tindak kejahatan elektoral yang harus dengan serius di cegah bahkan diperangi. Telah banyak definisi oleh para pakar maupun ilmuwan politik terkait politik uang namun untuk keperluan dalam tulisan singkat ini saya mengambil beberapa defenisi saja. Menurut Aspinall & Sukmajati dalam bukunya Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientalisme Pada Pemilu Legislatif 2014 secara umum menjelaskan bahwa Politik uang dapat diartikan sebagai upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara Pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Definisi yang lebih praktis dikemukakan  oleh  Jeffrey A. Winters  seorang ilmuwan politik asal Amerika yang mengatakan Politik uang adalah tindakan politik memobilisasi pemilih agar memilih Parpol dan Calon tertentu di TPS dengan memberi imbalan sejumlah uang, barang atau jasa dalam Pemilu/Pemilihan. Dari dua definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan politik diatas dapat disimpulkan bahwa politik uang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyuap atau membeli suara pemilih demi kepentingan politik bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya. Beberapa Bentuk Politik Uang Menurut Ahmad Khoirul Umam (2006) bentuk-bentuk politik uang atau money politics dalam Pemilu atau Pemilihan terdiri dari berbagai macam bentuk dan modusnya. Dibawah ini ada dua bentuk politik uang yang dijelaskan Umam dalam bukunya; Kiai dan budaya korupsi di Indonesia. Pertama Berbentuk uang ; Politik uang diberikan kepada Pemilih dalam bentuk uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kedua Berbentuk barang atau materi lain; Politik uang diberikan dalam bentuk barang atau materi lainnya dengan tujuan untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih (menjadi tidak sah) atau memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. Misalnya, pemberian barang atau materi untuk pembangunan tempat ibadah atau prasarana umum lainnya. Edward Aspinal dan Mada Sukmajati dalam bukunya yang terbit tahun 2015 dengan judul Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientalisme Pada Pemilu Legislatif 2014 begitu rinci dalam menjelaskan bentuk-bentuk politik uang. Beberapa bentuk politik uang yang sering terjadi dalam Pemilu dan Pemilihan seperti yang dijelaskan Aspinal dan Sukmajati dalam buku tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama Pembelian Suara atau vote buying yaitu pemberian imbalan materi (baik dalam bentuk uang ataupun barang) kepada seorang individu atau keluarga yang memiliki hak pilih pada hari dilaksanakannya pemungutan suara ataupun beberapa hari sebelumnya. Distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis dilakukan beberapa hari menjelang Pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi. Kedua Pemberian-Pemberian Pribadi (individual gifts) bentuk politik uang jenis ini dilakukan untuk mendukung pembelian suara yang sistematis, para kandidat sering kali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini sering kali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial. Kadang pemberian tersebut didistribusikan oleh tim kampanye. Ketiga adalah Pelayanan dan Aktivitas (services and activities) politik uang jenis ini adalah suatu tindakan pelayanan yang diberikan oleh seseorang atau kelompok orang seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat sering kali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum pengajian, demo masak dan lain-lain. Tidak sedikit juga kandidat membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check up dan pelayanan kesehatan gratis, penyediaan ambulance dan lain-lain. Keempat adalah sesuatu yang di istilahkan sebagai Barang-Barang Kelompok (club goods) Club goods didefinisikan sebagai praktik politik uang yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individual. Sebagian besar dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain. Kandidat melakukan kunjungan ke komunitas-komunitas tersebut disertai dengan barang atau keuntungan lainnya yang dibutuhkan komunitas tersebut. Misalnya perlengkapan ibadah, peralatan olahraga, peralatan pertanian, sound system dan lain-lain yang sejenis. Kelima adalah apa yang diistilahkan sebagai  Proyek Gentong Babi (pork barrel projects). Berbeda dengan bentuk politik uang yang telah dijelaskan sebelumnya yang pada umumnya merupakan strategi para kandidat dalam rangka memenangkan suara secara privat (baik oleh kandidat atau donor dari pihak swasta). Bentuk pork  barrel projects didefinisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan tersebut ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Politik Hukum menurut Mahfud M.D adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Negara melaui kebijakan politik hukumnya telah mengatur terkait kejahatan politik uang. Dengan adanya kebijakan hukum ini semakin jelas bahwa politik uang adalah sesuatu yang serius sehingga dianggap perlu untuk diatur dalam peraturan perundang – undangan, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dan tentunya perlindungan terhadap demokrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan umum Pasal 523 ayat(1), ayat (2), dan ayat (3) mengatur tentang larangan poltik uang yang terbagi dalam tiga masa atau tahapan yaitu; Pertama pada masa Kampanye dimana larangan tersebut berbunyi; Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) Kedua Pada Masa Tenang dimana desebutkan ; Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Ketiga Pada Saat Pemungutan Suara  yang secara tegas disebutkan ; Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Sedangkan aturan hukum larangan politik uang dalam Pemilihan sebagaimana ketentuan Pasal 187A Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu; (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang, atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 justru lebih tegas disebutkan bahwa baik pemberi maupun penerima mendapatkan ancaman pidana, ini memang ada baiknya namun juga ada kekurangannya. Sisi kekurangnanya tentu saja dalam sisi pembuktiannya jika ada laporan tindak pidana politik uang ke Bawaslu dikarenakan si penerima sudah dapat dipastikan tidak akan pernah mengaku menerima sejumlah uang dari kandidat. Sedikit Tentang Demokrasi Seperti sudah diketahui secara umum bahwa Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hans Kelsen mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Lebih jauh Kelsen menjelaskan bahwa wakil-wakil rakyat yang terpilih merupakan pelaksana kekuasaan negara, dimana rakyat telah memiliki keyakinan bahwa segala kehendak serta kepentingan mereka akan selalu diperhatikan dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. Menurut Charles Costello, arti demokrasi adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan dalam melindungi hak-hak individu warga Negara. Hasyim Asy’ari mengutip G. Bingham Powell, Jr mengatakan bahwa standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik. Senada dengan itu Martin Suryajaya mengatakan bahwa Konsep dasar dari demokrasi adalah sebuah rights-based politics, sebuah politik yang bertumpu pada hak. Ini dibuktikan dimana dasar dari konstitusi setiap negara demokratis terdapat pengakuan pada Hak Asasi Manusia sebagai hak konstitusional atau sebagai hak warga negara. Hak memerintah diri ini lahir dikarenakan suatu asumsi bahwa masing-masing orang sebagai individu lebih mengetahui dirinya sendiri atau lebih mengetahui kepentingan dirinya sendiri dibandingkan orang lain. Hak inilah kemudian yang kita mandatakan melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah kepada pemimpin atau perwakilan kita sebagai sesuatu bentuk representasi hak rakyat secara kolektif yang kemudian lebih jauh diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Karena hanya kita yang mengetahui Kepetingan diri kita sendiri maka sudah selayaknya kita tidak melakukan “penipuan diri” dengan kebutuhan jangka pendek dan terlibat dalam kejahatan politik uang dengan menggadaikan hak asasi dan hak konstitusinal kita kepada sejumlah uang atau barang.   Dampak Politik Uang Terhadap Pemilu dan Demokrasi Seperti disebutkan sebelumnya bahwa politik uang adalah usaha memperoleh kekuasaan dengan “membeli” dukungan dari pemilih atau partai politik  yang oleh banyak pakar disebut sebagai korupsi elektoral karena merupakan perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi. Karena biaya politik yang tinggi yang diakibatkan oleh  politik uang maka banyak kandidat harus mengeluarkan dana yang besar untuk menduduki jabatan tertentu sehingga muncul keinginan untuk mengembalikan “modal” saat pencalonan tersebut ketika dia terpilih. Korupsi politik adalah hasil dari politik uang dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Penyelewengan kekuasaan dan juga dalah penyelewengan mandate rakyat (pemilih) yang dilakukan politisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan mengakibatkan rakyat menjadi korban karena hak-haknya sebagai Warga Negara (Pemilih) terampas dan mencederai prinsip,kejujuran dan keadilan dalam demokrasi.   Menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang cerdas adalah mereka dengan kesadaran memilih memiliki sikap kritis dan rasional pada pemilu ataupun pemilihan, yaitu memahami hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, memahami dan mengkritisi visi, misi dan program kerja para kandidat dan parpol serta tentu saja anti terhadap politik uang(money politics). Adapun aktivitas pemilih cerdas dalam pemilu dan pemilihan adalah sebagai berikut : Aktif mencari informasi tentang riwayat kandidat seperti latar belakang pendidikan, pekerjaan, aktivitas kemasyarakatan, riwayat perjuangan dan kepribadian dalam kehidupan kemasyarakatan. Aktif mencari informasi tentang visi, misi dan program kandidat. Aktif mencari informasi pemilu/pemilihan dan berperan serta dalam pelaksanaan setiap tahapan Aktif mengecek statusnya di DPS dan DPT online untuk memastikan apakah yang bersangkutan sudah terdaftar atau belum sebagai pemilih Aktif mengajak pemilih dan datang langsung ke TPS pada hari H untuk menggunakan hak pilih. Aktif mengikuti kegiatan kampanye untuk mengetahui lebih dalam visi, misi dan program kandidat Aktif awasi proses pemungutan suara di TPS dan penghitungan suara berjalan secara jujur dan adil Aktif memonitor rekapitulasi hasil hingga penetapan hasil suara di semua tingkatan   ***

Mendesak Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024

Apa yang paling Anda ingat dari penyelenggaraan Pemilu 2019? Selain polarisasi politik yang membelah rakyat Indonesia secara ekstrem, Anda tentu paling ingat dengan kejadian meninggalnya ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pasca melaksanakan tugas. Data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa sebanyak 894 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang sakit setelah melaksanakan tugas sebagai garda terdepan penyelenggaraan Pemilu.  Tragedi ini menjadi sorotan. Banyak lembaga yang melakukan riset untuk mengevaluasinya. Tim Kajian Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satunya. Hasil risetnya menyimpulkan bahwa meskipun meninggalnya anggota KPPS ini disebabkan faktor natural karena menderita penyakit lain yang sudah menahun, namun anggota KPPS memang kelelahan dalam melaksanakan pekerjaan. Beban kerja mereka sangat berat disebabkan keserentakan pemilu legislatif dengan pemilu presiden yang baru pertama kali dipraktikkan di Indonesia. Selain itu, kewajiban untuk menyelesaikan penghitungan suara pada hari yang sama dengan pemungutan suara menjadikan pekerjaan berproses tanpa jeda. Untuk melakukan proses pemungutan dan penghitungan suara, KPPS membutuhkan waktu sekitar 16-24 jam. Pemilu sebelumnya hanya memakan waktu 8-11 jam. Administrasi Pemilu yang rumit menjadi alasan panjangnya jam kerja. Salah satunya adalah karena surat suara yang tidak praktis dan menyebabkan petugas kesulitan menjalankan tugas mereka.  Peliknya mengurus lima buah surat suara pada Pemilu 2019 tidak hanya menjadi problem petugas tetapi juga menjadi kesukaran pemilih. Dalam hasil survei yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terungkap bahwa 74% pemilih mengakui bahwa mencoblos surat suara sebanyak itu dalam waktu sekaligus sangat menyulitkan. Hasil survei ini menjawab fakta tingginya angka suara tidak sah pada Pemilu 2019 lalu. Pada Pemilu DPR misalnya, terdapat 11,12% suara tidak sah atau setara dengan 17,5 juta surat suara. Padahal secara global, surat suara tidak sah ini hanya ditoleransi pada kisaran 2-4% saja. Bahkan pada Pilpres yang surat suaranya relatif paling sederhana, terdapat 3,7 juta suara tidak sah. Coba simak lagi akibat apa yang ditimbulkan oleh hal yang terlihat sederhana, seperti desain surat suara. Dampak yang dirasakan setelah surat suara tersebut digunakan tidak hanya persoalan teknis dan manajemen, tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Mau tidak mau, kita tidak punya alasan lagi, untuk tidak menyederhanakan surat suara. KPU sebagai penyelenggara teknis Pemilu harus melakukannya untuk Pemilu serentak berikutnya yaitu Pemilu 2024. Dengan penyederhanaan ini, kompleksitas Pemilu serentak di Indonesia bisa sedikit berkurang. Alasan yang kita simak di atas saja sudah mengerikan, apalagi sekarang ada situasi baru yang bisa menimbulkan kengerian yang lebih parah lagi lagi, yaitu pandemi COVID-19 yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Ini menjadi pendorong kenapa Pemilu 2024 harus diselenggarakan dengan surat suara yang lebih sederhana. Pada Pemilu 2019, rata-rata pemilih menghabiskan waktu di bilik suara selama 6 menit. Ditambah dengan proses validasi daftar pemilih, pengecekan surat suara oleh pemilih sebelum masuk ke bilik suara, serta waktu menunggu giliran, pemilih bisa menghabiskan waktu 15-20 menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini tentu akan menimbulkan antrean pemilih. Dalam konteks pandemi COVID-19, tentu saja antrean ini akan menyebabkan kerumunan dan berpotensi menjadi klaster baru penularan virus. Usul penyederhanaan surat suara ini sudah mulai diapungkan KPU sejak bulan lalu. KPU menawarkan enam desain surat suara. Masing-masing desain dengan konsekuensi bervariasi, mulai dengan cara tetap mencoblos, mencontreng dengan pena (seperti pada Pemilu 2009) atau menuliskan pilihan. Tentu saja sebagai sebuah terobosan kebijakan, usulan ini harus dilandasi regulasi yang jelas. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus direvisi, terkhusus pasal-pasal terkait seperti Pasal 342 Ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur unsur-unsur yang tercantum dalam sebuah surat suara, Pasal 353 Ayat (1) tentang cara pemberian suara dengan mencoblos, Pasal 348 Ayat (4) tentang pindah memilih, dan Pasal 386 Ayat (1), (2), dan (3) tentang keabsahan surat suara. Tantangan awalnya adalah meyakinkan parlemen bahwa perubahan ini adalah langkah progresif dalam meningkatkan mutu pelaksanaan Pemilu di Indonesia, sehingga pasal-pasal tersebut bisa direvisi. Sebagai representasi rakyat dan utusan partai politik, politisi Senayan harus diyakinkan bahwa perubahan desain surat suara maupun mekanisme pemberian suara perubahan dinamika yang sudah ada dalam sejarah Pemilu Indonesia sejak tahun 1955. Tantangan berikutnya adalah mensosialisasikan perubahan ini pada seluruh rakyat Indonesia. Pemberian tanda pada surat suara pada pemilu dengan cara mencoblos sudah menjadi pengetahuan kolektif saat ini. Mengubah hal ini tentulah tidak mudah. Sosialisasi harus dilakukan secara masif, intens dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Termasuk kalangan yang belum melek huruf yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 berjumlah 3,62% dari total penduduk Indonesia. Kumpulan organisasi-organisasi kepemiluan internasional, ACE Electoral Knowledge Network memberikan konsep bahwa semakin sederhana surat suara, semakin efektif pemilu tersebut. Penegasan kesederhanannya terletak pada dua aspek penting yang harus dipertimbangkan, yaitu kemampuan pemilih dalam memahami pilihan-pilihan dalam surat suara dan akurasi penghitungan suara setelah proses voting dilaksanakan. Desain surat suara yang buruk selain membingungkan pemilih juga akan berkonsekuensi pada ruginya partai politik dan calonnya sebagai peserta Pemilu. Selain itu, ketidakjelasan desain dalam surat suara juga akan menimbulkan perdebatan dalam mengklasifikasikan perolehan suara untuk partai mana dan siapa calonnya, juga akan menimbulkan perdebatan dan berpeluang meningkatnya kasus sengketa hasil Pemilu. Ingat, kita tidak mau jatuh korban baru lagi karena Pemilu, ditambah lagi situasi pandemi ini juga belum tahu kapan ujungnya. Karenanya, ide penyederhanaan desain surat suara ini harus segera ditanggapi oleh para legislator. Jika sudah diatur dalam UU Pemilu, KPU harus segera membuat aturan teknis dan segera melakukan sosialisasi secara intens dan masif. Apalagi jika desain yang baru mengharuskan pemilih menandai pilihannya dengan cara selain mencoblos. Karena cara mencoblos telah menjadi memori kolektif yang lekat dalam ingatan rakyat Indonesia. Karenanya, sosialisasi peralihan ini harus dilakukan segera karena masih ada waktu sebelum Pemilu 2024 diselenggarakan. Proses perumusan kebijakan penyederhanaan surat suara ini tentu harus melibatkan semua unsur. DPR, KPU dan Bawaslu, partai politik sebagai peserta Pemilu, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil harus mencermati hal ini dari semua sisi. Spirit-nya, sekali lagi. adalah kemudahan dalam proses teknis prosedural Pemilu. Tentu saja tujuan penyederhanaan untuk kemudahan baik penyelenggara Pemilu maupun pemilih harus dilakukan tanpa menciderai pelaksanaan asas Pemilu itu sendiri, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ade Alifya, M.Si. ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumbar. https://kumparan.com/ade-alifya/mendesak-penyederhanaan-surat-suara-pemilu-2024-1wboiwP8apF/full

Menjaga Hak Memilih Sebagai Bentuk Perlindungan HAM

Oleh Supriadi Lawani   Salahsatu syarat terciptanya pemilu yang baik adalah adanya data pemilih yang komprehensif, akurat dan mutakhir. Untuk itu meskipun dalam penyusunan data pemilih adalah tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta jajarannya namun agar tercipta data yang benar-benar komprehensif, akurat dan mutakhir tersebut perlu keterlibatan semua pihak baik itu pemerintah, peserta Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) dan tentu saja masyarakat sipil pada umumnya. Problem yang sering terjadi dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Gubernur,Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) adalah masih adanya warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih dalam arti telah memiliki Hak Memilih namun tidak dapat memberikan suaranya dikarenakan beberapa kendala teknis yang bersifat administrasi, padahal untuk menjamin setiap warga negara agar dapat memberikan suaranya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan adalah tanggung jawab semua pihak. Ini dikarenakan hak untuk memilih merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan catatan singkat ini ingin membicarakan tentang Hak Memilih yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM).   Tentang Hak Memilih Hak memilih adalah hak yang diberikan negara kepada warganya dengan syarat – syarat tertentu dalam Pemilihan Umum (Pemilu) maupun pada Pemilihan Gubernur,Bupati dan wali kota (Pemilihan). Pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 198 ayat (1) disebutkan bahwa “warga negara indonesia yang pada hari pemunggutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”. Kemudian pasal 199 disebutkan bahwa “ untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Selanjutnya pada pasal 200 disebutkan “ Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih”. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa “Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih”. Selanjutnya pada Pasal 57 ayat (1) dikatakan bahwa “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih”. Selanjutnya pasal 57 ayat (3) menegaskan bahwa “Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Dari penjelasan undang-undang tersebut diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hak memilih diberikan oleh negara kepada warga negara indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin, bukan anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, tidak sedang terganggu jiwa/ingatanya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan warga negara Indonesia tersebut harus terdaftar sebagai Pemilih. Adapun tugas dalam menyusun daftar pemilih adalah kewenangan KPU,KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana ketentuan pasal 14 huruf l,pasal 17 huruf l,dan pasal 20 huruf l undang- undang nomor 7 tahun 2017.     Hak Memilih Sebagai Hak Asasi Manusia   Pangakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salahsatu prinsip dalam suatu negara hukum yang demokratis begitu pula dengan negara kita Indonesia , sebagai negara hukum yang demokratis maka dianggap menjadi suatu keharusan untuk memasukan pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada konstitusi kita, sehingga pada perubahan kedua Undang-undang Dasar Nagara Republik Indonesia (UUD 1945) dimasukan pasal Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD sebagai pengakuan dan perlindungan konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).   Hak memilih dalam Pemilihan Umum (PEMILU) ataupun pada pemilihan Gubernur,Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) merupakan hak konstitusional warga negara, namun bukan hanya itu hak memilih juga merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) ini dapat kita temukan pendasarannya pada  Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menyebutkan bahwa: “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”. Selanjutnya pada pasal 28 I ayat (5) disebutkan “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.   Walaupun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih dulu hadir dibandingkan perubahan kedua terhadap UUD 1945 namun tidak merubah kedudukan, konsistensi dan urgensi undang-undang HAM ini sebagai rujukan yang  bersifat lebih operasional dalam menegakan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM).   Pada pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa  “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 serta pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah pondasi yang menjadi tempat berdirinya pilar dalam perlindungan dan penjagaan hak memilih bagi pemilih dalam pemilihan umum maupun pemilihan sebagai wujud perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pemutahiran Data Pemilih Berkelanjutan Sebagai Perlindungan HAM Dalam beberapa dekade terakhir ini Pemutahiran Data Pemilih masih merupakan rangkaian kegiatan yang sifatnya periodik dalam satu tahapan Pemilu maupun Pemilihan dan bukan suatu kegiatan yang bersifat berkelanjutan (kontinuitas) diluar tahapan pemilu dan pemilihan. Bukan bermaksud menyederhanakan namun persoalan umum terkait pemutahiran data pemilih ini dapat kita ringkas dalam empat bagian persoalan terkait peristiwa kependudukan, pertama adalah terkait perekaman Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-EL), kedua data Pensiun anggota TNI/Polri dan anggota baru TNI/Polri, ketiga data kematian dan keempat data penduduk yang masuk maupun keluar dari suatu daerah. Inilah empat permasalahan utama diantara banyak persoalan lain yang menjadi persoalan dalam  setiap tahapan pemutakhiran data pemilih dan tentu saja ini akan berat diatasi jika pemutahiran data pemilih hanya bersifat periodik dalam suatu tahapan pemilu maupun pemilihan. Untuk merespon situasi agar setiap warga negara yang berhak memilih dapat terjamin haknya maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengeluarkan suatu kebijkan agar pemutahiran data pemilih ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang bersifat berkelanjutan (kontinuitas) dengan tujuan agar dapat menjamin bahwa setiap warga negara yang sudah mempunyai hak untuk memilih dapat tercatat dan terdaftar sebagai pemilih. Pada awalnya aktifitas pemutahiran data pemilih berkelanjutan ini hanya berdasarkan surat Ketua KPU Republik Indonesia nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan tahun 2021 kemudian disusul dengan Surat nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 perihal perubahan surat nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan tahun 2021. Kemudian pada tanggal 12 November 2021 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 tahun 2021 Tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan yang kemudian menjadi payung hukum yang kuat dalam pelaksanaan Pemutkhiran data Pemilih Berkelanjutan diluar tahapan Pemilu maupun Pemilihan. Walaupun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak menjadi pertimbangan dalam penyusunan PKPU Nomor 6 tahun 2021 Tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan namun secara implisit peraturan ini adalah wujud dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dikarenakan tujuan peraturan ini adalah untuk menjamin semua yang berhak memilih dalam pemilu maupun pemilihan dapat tercatat dan terdaftar sebagai pemilih yang mana hal ini juga senada dan memiliki semangat yang sama dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa  “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Inilah titik temu dari apa yang disebut sebagai menjaga hak memilih warga negara sekaligus juga adalah salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM)*   * Anggota KPU Kabupaten Banggai Periode 2018-2023  

Populer

Belum ada data.