KPU Kabupaten Banggai melaksanakan penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan SMK Negeri 1 Luwuk
Luwuk, kab-banggai.kpu.go.id - KPU Kabupaten Banggai resmi menjalin kerja sama dengan SMK Negeri 1 Luwuk melalui penandatanganan Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang berlangsung pada Rabu, 8 Oktober 2025, bertempat di Kantor KPU Kabupaten Banggai. Penandatanganan perjanjian ini merupakan bagian dari upaya KPU Banggai dalam meningkatkan pendidikan demokrasi dan literasi kepemiluan di kalangan pelajar menjadi salah satu segmen pemilih pemula, khususnya di tingkat sekolah menengah kejuruan. Hadir dalam acara tersebut Ketua KPU Kabupaten Banggai Santo Gotia didampingi Plt. Sekretaris KPU Kabupaten Banggai Nirwana, Kepala SMKN 1 Luwuk Evriaty Mahiwa, S.Pd beserta guru pendamping. Dalam sambutannya, Ketua KPU Kabupaten Banggai menyampaikan bahwa kerja sama ini menjadi langkah konkret dalam menanamkan nilai-nilai demokrasi sejak dini. "Melalui kerja sama ini, kami berharap siswa-siswi SMKN 1 Luwuk dapat lebih memahami proses pemilu serta pentingnya partisipasi aktif dalam kehidupan berdemokrasi," ujarnya. Sementara itu, Kepala SMKN 1 Luwuk menyambut baik dan menyatakan komitmennya untuk mendukung program-program yang akan dijalankan ke depan. Kerja sama ini mencakup berbagai program edukatif seperti sosialisasi kepemiluan Pendidikan Pemilih dan Peningkatan Partisipasi Pemilih, Praktik Kerja Lapangan (PKL) pemilu, Guru Tamu serta kegiatan lainnya yang menunjang pendidikan demokrasi di lingkungan sekolah. Dengan adanya PKS ini, diharapkan terjalin sinergi antara lembaga penyelenggara pemilu dan institusi pendidikan dalam membentuk generasi muda yang cerdas, kritis, dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (humas KPU Banggai Nurul/foto: Nofry/editor :Ahmad) ....

KPU Kabupaten Banggai menggelar Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Periode Triwulan III Tahun 2025
Luwuk, kab-banggai.kpu.go.id - KPU Kabupaten Banggai menggelar Rapat Pleno Terbuka Penetapan Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) Periode Triwulan III Tahun 2025, bertempat di Aula Kantor KPU Kabupaten Banggai, Jum’at (3/10/2025) Acara dibuka langsung oleh Ketua KPU Kabupaten Banggai Santo Gotia didampingi Abd. Rauf R.A Barri, Hidayat Helingo, Mahmud, Budysastra Bahrun selaku Anggota KPU Kabupaten Banggai dan dihadiri oleh perwakilan Bawaslu Kabupaten Banggai, Unsur Forkopimda, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, serta sejumlah instansi terkait lainnya. Dalam sambutannya, Santo mengucapkan terima kasih atas sinergi yang telah terjalin selama ini, dan berharap kolaborasi ini terus ditingkatkan demi kesuksesan pemilu yang inklusif dan partisipatif di masa mendatang. Selanjutnya, Rauf selaku Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi menyampaikan bahwa berdasarkan hasil pemutakhiran data pemilih periode Triwullan III Tahun 2025 Pemilih Berkelanjutan di Kabupaten Banggai tercatat sebanyak 278.382 pemilih, yang terdiri dari 140.111 pemilih laki-laki dan 138.271 pemilih perempuan, tersebar di 23 kecamatan se-Kabupaten Banggai. "Pemutakhiran ini merupakan bagian dari komitmen kami untuk menjaga akurasi dan validitas data pemilih secara transparan dan partisipatif. Kami juga terus mendorong masyarakat serta stakeholder untuk aktif memberikan informasi terkait perubahan data kependudukan," ujar Rauf. Setelah dilakukan penetapan data pemilih berkelanjutan, dalam Forum tersebut KPU Banggai juga membuka ruang dialog dan menerima masukan dari peserta rapat untuk penyempurnaan proses pemutakhiran data ke depannya. Selanjutnya Rapat pleno ditutup dengan penandatanganan berita acara rekapitulasi PDPB Triwulan III Tahun 2025 dan dokumentasi bersama seluruh peserta yang hadir. KPU Kabupaten Banggai mengimbau masyarakat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih, namun belum terdaftar, agar segera melapor atau menyampaikan data diri ke kantor KPU maupun melalui layanan daring yang disediakan. (humas KPU Banggai NF/foto: Fajar/editor :Ahmad) ....

Perkuat Hak Pemilih Disabilitas, KPU Kabupaten Banggai Terima Kunjungan Tim Peneliti Universitas Tadulako Palu
Luwuk, kab-banggai.kpu.go.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banggai menerima kunjungan Tim peneliti dari Universitas Tadulako Palu dalam rangka pelaksanaan Penelitian Unggulan Tahun 2025 yang didanai melalui DIPA Universitas Tadulako. Penelitian ini mengusung judul "Jaminan Perlindungan Hak Suara Penyandang Disabilitas dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah Tahun 2024", Senin (1/5/2025). Kunjungan ini disambut baik oleh Ketua Santo Gotia, Anggota Abd Rauf R.A Barri dan Mahmud, Plt Sekretaris Nirwana serta Kasubag Teknis Penyelenggara Pemilu KPU Kabupaten Banggai Su'dan Masulili . Dalam sambutannya Ketua KPU Kabupaten Banggai Santo Gotia menyampaikan komitmen lembaga dalam memastikan seluruh warga negara, termasuk penyandang disabilitas, dapat menggunakan hak pilihnya secara setara dan bermartabat. Tim peneliti yang diketuai Dr. Syamsudin, SH, MH, melakukan audiensi dan pengumpulan data di KPU Kabupaten Banggai guna menggali informasi terkait kebijakan, strategi, serta tantangan yang dihadapi dalam upaya pemenuhan hak konstitusional pemilih penyandang disabilitas pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah Tahun 2024 lalu. KPU Kabupaten Banggai berharap hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi yang konstruktif terhadap penguatan kebijakan inklusif dalam penyelenggaraan pemilu di masa mendatang, baik di tingkat daerah maupun nasional. (humas KPU Banggai NF/foto: NF/ed Ahmad) ....

Mewujudkan Pemilu yang Berkualitas Melalui Data yang Berkualitas
Luwuk, kab-banggai.kpu.go.id - Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Banggai (KPU Banggai) menghadiri Rapat Kerja Komisi 1 DPRD terkait Sinkronisasi Data Kependudukan. Rabu (27/8/2025). Hadir dalam Rapat Kerja Plh. Ketua Hidayat Helingo, Anggota KPU Kabupaten Banggai Abd Rauf R.A Barri, Budysastra Bahrun dan Mahmud yang didampingi Jajaran Sekretariat KPU Banggai. Kegiatan ini dibuka oleh Ketua Komisi 1 DPRD Kabupaten Banggai Lisa Sundari berserta Anggota, dalam sambutannya Lisa menyampaikan bahwa terdapat perbedaan angka dan informasi antara data yang dimiliki oleh BPS dan data dari Disdukcapil yang berpotensi menimbulkan kebingungan dalam penyusunan kebijakan publik, penyaluran bantuan sosial, evaluasi program pembangunan hingga perencanaan pemetaan dapil dan penambahan jumlah alokasi kursi pada pemilu mendatang. Menurut Lisa, Komisi I memandang perlu untuk mempertemukan beberapa instansi agar bisa menyatukan persepsi, membangun sinergi, dan mencari solusi konkret demi terwujudnya data kependudukan yang sinkron, valid, dan terpercaya. Selanjutnya dalam sambutannya Plh. Ketua KPU Banggai, Hidayat Helingo mengucapkan terima kasih dan apresiasinya terhadap pelaksanaan rapat ini. “KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu sangat bergantung pada akurasi data kependudukan sebagai dasar utama dalam menyusun daftar pemilih, baik dalam pemilu maupun pemilihan, sehingga kami menilai bahwa forum ini adalah langkah yang sangat strategis dan perlu ditindaklanjuti secara konkret dan berkelanjutan. KPU siap mendukung langkah-langkah teknis maupun kebijakan yang dihasilkan dari forum ini. Kami percaya, pemilu yang berkualitas hanya dapat terwujud dengan data yang berkualitas” ujarnya. Dalam kesempatan tersebut Ketua Divisi Perencanaan, Data dan Informasi, Abd. Rauf R.A Barri memaparkan Jumlah Rekapitulasi Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanutan (PDPB) Triwulan II Tahun 2025 sebesar 272.582 jiwa, dengan jumlah Laki-laki 137.298 jiwa dan Perempuan 135.284 jiwa. Rauf menjelaskan bahwa di KPU, data kependudukan adalah instrumen krusial dalam penyusunan daftar pemilih. Proses pemutakhiran data pemilih bersumber dari Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) yang dierima dari Kemendagri melalui Disdukcapil. Namun, di lapangan, kami masih sering menjumpai perbedaan data terkait NIK, status domisili, data kematian, maupun data pemilih pemula. Bahkan dalam beberapa kasus, data dari BPS dan Disdukcapil bisa berbeda secara signifikan. Hal ini tentu berdampak pada keakuratan DPT dan potensi munculnya sengketa atau ketidakpuasan dalam proses pemilu. Karena itu, KPU Kabupaten Banggai sangat mendukung sinkronisasi data lintas lembaga. "KPU Banggai berharap ada kolaborasi yang lebih erat, tidak hanya saat menjelang pemilu, tetapi bersifat berkelanjutan, sehingga kita semua dapat bekerja dengan basis data yang sama, valid, dan terpercaya", tutup Rauf. Melalui forum ini, diharapkan melahirkan rekomendasi-rekomendasi yang aplikatif, termasuk kemungkinan pembentukan tim sinkronisasi data lintas sektor, serta penataan regulasi atau kebijakan yang mendukung keterpaduan sistem informasi kependudukan. Turut Hadir Asisten 1 Bupati Banggai, Hj. Nurdjalal, Kadis Dukcapil Hasanudin Baadi, Kepala BPS Muhamad Said, Kabag Hukum Zain Udjin Saluki, Kabid PIP DKSIP Ruslan Daman, Sekretaris Bapedda Abdullah Djafar beserta jajarannya. (Humas KPU Banggai Irma/foto: NF/ed Ahmad) ....

Sinergi KPU Kabupaten Banggai dan DPMD dalam pemutakhiran data pemilih berkelanjutan
kab-banggai.kpu.go.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Banggai melaksanakan kegiatan koordinasi terkait Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Banggai, Selasa (26/8/2025) Anggota KPU Kabupaten Banggai, Abd. Rauf R.A Barri dan Budysastra Bahrun didampingi Kasubbag Perencanaan Data dan Informasi Indriyani beserta jajaran diterima langsung oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Banggai Hasan Bashwan M. Dg. Masikki. Koordinasi ini bertujuan untuk memperkuat sinergi antar lembaga dalam rangka pemutakhiran data pemilih yang akurat dan terkini, khususnya yang bersumber dari tingkat desa dan kelurahan. Dalam pertemuan tersebut, KPU Kabupaten Banggai menekankan pentingnya peran pemerintah desa dalam hal meyediakan data yang valid dan menyampaikan kepada KPU Kabupaten Banggai jika ada penduduk atau pemilih baru yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih untuk di sampaikan guna mendukung proses demokrasi kedepan yang transparan dan partisipatif. Kepala Dinas PMD menyambut baik inisiatif KPU dan menyatakan komitmennya untuk mendukung kelancaran proses PDPB melalui penyampaian data kependudukan dari pemerintah desa secara rutin sehingga Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas daftar pemilih dan menjadi langkah awal yang strategis menjelang penyelenggaraan pemilu mendatang. NF - Humas KPU Kabupaten Banggai ....

Penyerahan Hadiah dan Penutupan Lomba Semarak Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 oleh KPU Kabupaten Banggai
Luwuk, kab-banggai.kpu.go.id - KPU Kabupaten Banggai secara resmi menyerahkan hadiah kepada para pemenang lomba 17 Agustus yang digelar sehari sebelumnya tanggal 16 Agustus 2025, berlangsung usai pelaksanaan upacara bendera HUT RI ke-80 di halaman Kantor KPU Kabupaten Banggai, Minggu (17/8/2025) Plh. Ketua KPU Kabupaten Banggai Hidayat Helingo beserta Anggota Abd Rauf R.A Barri, Budysastra Bahrun dan Mahmud didampingi Plt. Sekretaris Nirwana menyerahkan langsung hadiah kepada para pemenang lomba. “Kegiatan ini bukan hanya ajang hiburan, tapi juga wujud kebersamaan, semangat gotong royong, dan cinta tanah air. Kami berharap semangat seperti ini terus tumbuh di lingkungan kerja kita,” ujar Hidayat Helingo dalam sambutannya. Suasana penuh semangat dan kekeluargaan mewarnai momen penyerahan hadiah, dengan tawa dan apresiasi dari para peserta. Para pemenang lomba menerima hadiah berupa paket bingkisan, voucher dan hadiah simbolis kemenangan. Kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk penghargaan kepada partisipasi aktif seluruh staf secretariat KPU Kabupaten Banggai dalam memeriahkan kemerdekaan Republik Indonesia, serta menumbuhkan semangat nasionalisme dan solidaritas di lingkungan kerja. Nf - Humas KPU Kabupaten Banggai ....

Publikasi
Opini

Pastikan Anda Masuk dalam Daftar Pemilih Memilih menjadi sebuah keharusan guna turut berpartisipasi pada penguatan integrasi bangsa / daerah. Oleh : Mahmud / anggota KPU Banggai Memilih tidak hanya dimaknai sebagai penentuan dukung mendukung, tapi lebih jauh memilih harus difahami sebagai momen mentransformasikan kedaulatan dan kekuasaan rakyat kepada calon pemimpin yang layak mengemban amanah kekuasaan tersebut. Maka penting kiranya memastikan diri apakah sudah terdaftar sebagai pemilih atau belum. Tahapan daftar pemilih sedang bergerak terus, khususnya daftar pemilih tambahan (DPTb). Terkait DPTb, ada 10 kriteria pemilih tambahan, antara lain : Menjalankan tugas di tempat lain pada saat hari pemungutan suara. Menjalani rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan dan keluarga yang mendampingi. Penyandang disabilitas yang menjalani perawatan di panti sosial atau panti rehabilitasi. Menjalani rehabilitasi narkoba. Menjadi tahanan di rumah tahanan atau lembaga pemasyarakatan, atau terpidana yang sedang menjalani hukuman penjara atau kurungan. Tugas belajar/menempuh pendidikan menengah atau tinggi. Pindah domisili. Tertimpa bencana alam. Bekerja di luar domisilinya. Keadaan tertentu di luar dari ketentuan di atas sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pemilih nantinya yang terdaftar pada DPTb dpt menggunakan hak pilihnya untuk memilih : Pertama, calon anggota DPR jika pindah memilih ke kab/kota lain di dalam 1 Provinsi dan Daerah pemilihan DPR Kedua, calon anggota DPD jika pindah memilih ke kab/kota lain di dalam 1 provinsi Ketiga, pasangan calon presiden dan wakil presiden jika pindah memilih ke provinsi atau pindah memilih ke suatu negara Keempat, calon anggota DPRD Provinsi jika pindah memilih ke kecamatan atau kab/kota lain di dalam 1 Provinsi dan daerah pemilihan DPRD Provinsi Kelima, calon nggota DPRD Kabupaten/kota jika pindah memilih ke desa/kelurahan atau kecamatan lain di dalam 1 kabupate /kota dan daerah pemilihan DPRD Kabupaten/kota. Selain itu, pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam DPT dan DPTb tetapi memenuhi syarat sebagai pemilih dapat masuk dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK). Kriteria DPK antara lain : Dapat menggunakan hak pilihnya pada hari pemungutan suara dengan menunjukkan KTP-el. Menggunakan hak pilih di TPS sesuai dengan alamat tertera dalam KTP-el. Pada saat hari pemungutan suara dicatat oleh KPPS dalam daftar hadir di TPS dan dilaporkan kepada KPU Kabupaten/Kota setempat.

Oleh Supriadi Lawani Salahsatu syarat terciptanya pemilu yang baik adalah adanya data pemilih yang komprehensif, akurat dan mutakhir. Untuk itu meskipun dalam penyusunan data pemilih adalah tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta jajarannya namun agar tercipta data yang benar-benar komprehensif, akurat dan mutakhir tersebut perlu keterlibatan semua pihak baik itu pemerintah, peserta Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) dan tentu saja masyarakat sipil pada umumnya. Problem yang sering terjadi dalam setiap Pemilihan Umum (Pemilu) maupun Pemilihan Gubernur,Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) adalah masih adanya warga negara yang sudah memenuhi syarat sebagai pemilih dalam arti telah memiliki Hak Memilih namun tidak dapat memberikan suaranya dikarenakan beberapa kendala teknis yang bersifat administrasi, padahal untuk menjamin setiap warga negara agar dapat memberikan suaranya dalam setiap penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan adalah tanggung jawab semua pihak. Ini dikarenakan hak untuk memilih merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) dan catatan singkat ini ingin membicarakan tentang Hak Memilih yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM). Tentang Hak Memilih Hak memilih adalah hak yang diberikan negara kepada warganya dengan syarat – syarat tertentu dalam Pemilihan Umum (Pemilu) maupun pada Pemilihan Gubernur,Bupati dan wali kota (Pemilihan). Pada Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 198 ayat (1) disebutkan bahwa “warga negara indonesia yang pada hari pemunggutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih”. Kemudian pasal 199 disebutkan bahwa “ untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih kecuali yang ditentukan lain dalam undang-undang ini”. Selanjutnya pada pasal 200 disebutkan “ Dalam Pemilu, anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara republik Indonesia tidak menggunakan haknya untuk memilih”. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang Pasal 56 ayat (1) disebutkan bahwa “Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin, mempunyai hak memilih”. Selanjutnya pada Pasal 57 ayat (1) dikatakan bahwa “Untuk dapat menggunakan hak memilih, warga negara Indonesia harus terdaftar sebagai Pemilih”. Selanjutnya pasal 57 ayat (3) menegaskan bahwa “Untuk dapat didaftar sebagai Pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat: a. tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya; dan/atau b. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap”. Dari penjelasan undang-undang tersebut diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hak memilih diberikan oleh negara kepada warga negara indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin, bukan anggota Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Republik Indonesia, tidak sedang terganggu jiwa/ingatanya dan tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dan warga negara Indonesia tersebut harus terdaftar sebagai Pemilih. Adapun tugas dalam menyusun daftar pemilih adalah kewenangan KPU,KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana ketentuan pasal 14 huruf l,pasal 17 huruf l,dan pasal 20 huruf l undang- undang nomor 7 tahun 2017. Hak Memilih Sebagai Hak Asasi Manusia Pangakuan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah salahsatu prinsip dalam suatu negara hukum yang demokratis begitu pula dengan negara kita Indonesia , sebagai negara hukum yang demokratis maka dianggap menjadi suatu keharusan untuk memasukan pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada konstitusi kita, sehingga pada perubahan kedua Undang-undang Dasar Nagara Republik Indonesia (UUD 1945) dimasukan pasal Pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J UUD sebagai pengakuan dan perlindungan konstitusional terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Hak memilih dalam Pemilihan Umum (PEMILU) ataupun pada pemilihan Gubernur,Bupati dan Wali Kota (Pemilihan) merupakan hak konstitusional warga negara, namun bukan hanya itu hak memilih juga merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) ini dapat kita temukan pendasarannya pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Kemudian, Pasal 28D ayat (3) menyebutkan bahwa: “setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.”. Selanjutnya pada pasal 28 I ayat (5) disebutkan “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Walaupun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia lebih dulu hadir dibandingkan perubahan kedua terhadap UUD 1945 namun tidak merubah kedudukan, konsistensi dan urgensi undang-undang HAM ini sebagai rujukan yang bersifat lebih operasional dalam menegakan dan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM). Pada pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 serta pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah pondasi yang menjadi tempat berdirinya pilar dalam perlindungan dan penjagaan hak memilih bagi pemilih dalam pemilihan umum maupun pemilihan sebagai wujud perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Pemutahiran Data Pemilih Berkelanjutan Sebagai Perlindungan HAM Dalam beberapa dekade terakhir ini Pemutahiran Data Pemilih masih merupakan rangkaian kegiatan yang sifatnya periodik dalam satu tahapan Pemilu maupun Pemilihan dan bukan suatu kegiatan yang bersifat berkelanjutan (kontinuitas) diluar tahapan pemilu dan pemilihan. Bukan bermaksud menyederhanakan namun persoalan umum terkait pemutahiran data pemilih ini dapat kita ringkas dalam empat bagian persoalan terkait peristiwa kependudukan, pertama adalah terkait perekaman Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-EL), kedua data Pensiun anggota TNI/Polri dan anggota baru TNI/Polri, ketiga data kematian dan keempat data penduduk yang masuk maupun keluar dari suatu daerah. Inilah empat permasalahan utama diantara banyak persoalan lain yang menjadi persoalan dalam setiap tahapan pemutakhiran data pemilih dan tentu saja ini akan berat diatasi jika pemutahiran data pemilih hanya bersifat periodik dalam suatu tahapan pemilu maupun pemilihan. Untuk merespon situasi agar setiap warga negara yang berhak memilih dapat terjamin haknya maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengeluarkan suatu kebijkan agar pemutahiran data pemilih ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang bersifat berkelanjutan (kontinuitas) dengan tujuan agar dapat menjamin bahwa setiap warga negara yang sudah mempunyai hak untuk memilih dapat tercatat dan terdaftar sebagai pemilih. Pada awalnya aktifitas pemutahiran data pemilih berkelanjutan ini hanya berdasarkan surat Ketua KPU Republik Indonesia nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan tahun 2021 kemudian disusul dengan Surat nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021 perihal perubahan surat nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan tahun 2021. Kemudian pada tanggal 12 November 2021 Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 tahun 2021 Tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan yang kemudian menjadi payung hukum yang kuat dalam pelaksanaan Pemutkhiran data Pemilih Berkelanjutan diluar tahapan Pemilu maupun Pemilihan. Walaupun Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak menjadi pertimbangan dalam penyusunan PKPU Nomor 6 tahun 2021 Tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan namun secara implisit peraturan ini adalah wujud dari perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dikarenakan tujuan peraturan ini adalah untuk menjamin semua yang berhak memilih dalam pemilu maupun pemilihan dapat tercatat dan terdaftar sebagai pemilih yang mana hal ini juga senada dan memiliki semangat yang sama dengan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Inilah titik temu dari apa yang disebut sebagai menjaga hak memilih warga negara sekaligus juga adalah salah satu bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM)* * Anggota KPU Kabupaten Banggai Periode 2018-2023

Oleh Supriadi Lawani (Anggota KPU Kabupaten Banggai Periode 2018-2023) Tentang Politik Uang Politik uang beberapa tahun terakhir ini banyak diperbincangkan sebagai suatu ancaman yang sangat nyata terhadap demokrasi bukan hanya di Indonesia namun juga di dunia internasional. Banyak forum –forum resmi telah mendiskusikan isu politik uang ini bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa politik uang merupakan suatu tindak kejahatan elektoral yang harus dengan serius di cegah bahkan diperangi. Telah banyak definisi oleh para pakar maupun ilmuwan politik terkait politik uang namun untuk keperluan dalam tulisan singkat ini saya mengambil beberapa defenisi saja. Menurut Aspinall & Sukmajati dalam bukunya Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientalisme Pada Pemilu Legislatif 2014 secara umum menjelaskan bahwa Politik uang dapat diartikan sebagai upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara Pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Definisi yang lebih praktis dikemukakan oleh Jeffrey A. Winters seorang ilmuwan politik asal Amerika yang mengatakan Politik uang adalah tindakan politik memobilisasi pemilih agar memilih Parpol dan Calon tertentu di TPS dengan memberi imbalan sejumlah uang, barang atau jasa dalam Pemilu/Pemilihan. Dari dua definisi yang dikemukakan oleh ilmuwan politik diatas dapat disimpulkan bahwa politik uang adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menyuap atau membeli suara pemilih demi kepentingan politik bagi dirinya sendiri maupun kelompoknya. Beberapa Bentuk Politik Uang Menurut Ahmad Khoirul Umam (2006) bentuk-bentuk politik uang atau money politics dalam Pemilu atau Pemilihan terdiri dari berbagai macam bentuk dan modusnya. Dibawah ini ada dua bentuk politik uang yang dijelaskan Umam dalam bukunya; Kiai dan budaya korupsi di Indonesia. Pertama Berbentuk uang ; Politik uang diberikan kepada Pemilih dalam bentuk uang, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Kedua Berbentuk barang atau materi lain; Politik uang diberikan dalam bentuk barang atau materi lainnya dengan tujuan untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih (menjadi tidak sah) atau memilih calon tertentu atau tidak memilih calon tertentu. Misalnya, pemberian barang atau materi untuk pembangunan tempat ibadah atau prasarana umum lainnya. Edward Aspinal dan Mada Sukmajati dalam bukunya yang terbit tahun 2015 dengan judul Politik Uang di Indonesia : Patronase dan Klientalisme Pada Pemilu Legislatif 2014 begitu rinci dalam menjelaskan bentuk-bentuk politik uang. Beberapa bentuk politik uang yang sering terjadi dalam Pemilu dan Pemilihan seperti yang dijelaskan Aspinal dan Sukmajati dalam buku tersebut dapat dikategorikan sebagai berikut: Pertama Pembelian Suara atau vote buying yaitu pemberian imbalan materi (baik dalam bentuk uang ataupun barang) kepada seorang individu atau keluarga yang memiliki hak pilih pada hari dilaksanakannya pemungutan suara ataupun beberapa hari sebelumnya. Distribusi pembayaran uang tunai/barang dari kandidat kepada pemilih secara sistematis dilakukan beberapa hari menjelang Pemilu yang disertai dengan harapan yang implisit bahwa para penerima akan membalasnya dengan memberikan suaranya bagi si pemberi. Kedua Pemberian-Pemberian Pribadi (individual gifts) bentuk politik uang jenis ini dilakukan untuk mendukung pembelian suara yang sistematis, para kandidat sering kali memberikan berbagai bentuk pemberian pribadi kepada pemilih. Biasanya mereka melakukan praktik ini ketika bertemu dengan pemilih, baik ketika melakukan kunjungan ke rumah-rumah atau pada saat kampanye. Pemberian seperti ini sering kali dibahasakan sebagai perekat hubungan sosial. Kadang pemberian tersebut didistribusikan oleh tim kampanye. Ketiga adalah Pelayanan dan Aktivitas (services and activities) politik uang jenis ini adalah suatu tindakan pelayanan yang diberikan oleh seseorang atau kelompok orang seperti pemberian uang tunai dan materi lainnya, kandidat sering kali menyediakan atau membiayai beragam aktivitas dan pelayanan untuk pemilih. Bentuk aktivitas yang sangat umum adalah kampanye pada acara perayaan oleh komunitas tertentu. Contoh lain adalah penyelenggaraan pertandingan olahraga, turnamen catur atau domino, forum pengajian, demo masak dan lain-lain. Tidak sedikit juga kandidat membiayai beragam pelayanan untuk masyarakat, misalnya check up dan pelayanan kesehatan gratis, penyediaan ambulance dan lain-lain. Keempat adalah sesuatu yang di istilahkan sebagai Barang-Barang Kelompok (club goods) Club goods didefinisikan sebagai praktik politik uang yang diberikan lebih untuk keuntungan bersama bagi kelompok sosial tertentu ketimbang bagi keuntungan individual. Sebagian besar dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu donasi untuk asosiasi-asosiasi komunitas dan donasi untuk komunitas yang tinggal di lingkungan perkotaan, pedesaan atau lingkungan lain. Kandidat melakukan kunjungan ke komunitas-komunitas tersebut disertai dengan barang atau keuntungan lainnya yang dibutuhkan komunitas tersebut. Misalnya perlengkapan ibadah, peralatan olahraga, peralatan pertanian, sound system dan lain-lain yang sejenis. Kelima adalah apa yang diistilahkan sebagai Proyek Gentong Babi (pork barrel projects). Berbeda dengan bentuk politik uang yang telah dijelaskan sebelumnya yang pada umumnya merupakan strategi para kandidat dalam rangka memenangkan suara secara privat (baik oleh kandidat atau donor dari pihak swasta). Bentuk pork barrel projects didefinisikan sebagai proyek-proyek pemerintah yang ditujukan untuk wilayah geografis tertentu. Kegiatan tersebut ditujukan kepada publik dan didanai dengan dana publik dengan harapan publik akan memberikan dukungan politik kepada kandidat tertentu. Politik Hukum Tindak Pidana Politik Uang dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Politik Hukum menurut Mahfud M.D adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Negara melaui kebijakan politik hukumnya telah mengatur terkait kejahatan politik uang. Dengan adanya kebijakan hukum ini semakin jelas bahwa politik uang adalah sesuatu yang serius sehingga dianggap perlu untuk diatur dalam peraturan perundang – undangan, sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dan tentunya perlindungan terhadap demokrasi. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang pemilihan umum Pasal 523 ayat(1), ayat (2), dan ayat (3) mengatur tentang larangan poltik uang yang terbagi dalam tiga masa atau tahapan yaitu; Pertama pada masa Kampanye dimana larangan tersebut berbunyi; Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah) Kedua Pada Masa Tenang dimana desebutkan ; Setiap pelaksana, peserta, dan/ atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp. 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah). Ketiga Pada Saat Pemungutan Suara yang secara tegas disebutkan ; Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Sedangkan aturan hukum larangan politik uang dalam Pemilihan sebagaimana ketentuan Pasal 187A Undang -Undang Nomor 10 Tahun 2016 yaitu; (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menjanjikan atau memberikan uang, atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung ataupun tidak langsung untuk mempengaruhi Pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 36 (tiga puluh enam) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (2) Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 justru lebih tegas disebutkan bahwa baik pemberi maupun penerima mendapatkan ancaman pidana, ini memang ada baiknya namun juga ada kekurangannya. Sisi kekurangnanya tentu saja dalam sisi pembuktiannya jika ada laporan tindak pidana politik uang ke Bawaslu dikarenakan si penerima sudah dapat dipastikan tidak akan pernah mengaku menerima sejumlah uang dari kandidat. Sedikit Tentang Demokrasi Seperti sudah diketahui secara umum bahwa Demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Hans Kelsen mengatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat. Lebih jauh Kelsen menjelaskan bahwa wakil-wakil rakyat yang terpilih merupakan pelaksana kekuasaan negara, dimana rakyat telah memiliki keyakinan bahwa segala kehendak serta kepentingan mereka akan selalu diperhatikan dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. Menurut Charles Costello, arti demokrasi adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan dalam melindungi hak-hak individu warga Negara. Hasyim Asy’ari mengutip G. Bingham Powell, Jr mengatakan bahwa standar minimal demokrasi biasanya adalah adanya pemilu reguler yang bebas untuk menjamin terjadinya rotasi pemegang kendali negara tanpa adanya penyingkiran terhadap suatu kelompok politik manapun, adanya partisipasi aktif dari warga negara dalam pemilu itu dan dalam proses penentuan kebijakan, terjaminnya pelaksanaan hak asasi manusia yang memberikan kebebasan bagi para warga negara untuk mengorganisasi diri dalam organisasi sipil yang bebas atau dalam partai politik. Senada dengan itu Martin Suryajaya mengatakan bahwa Konsep dasar dari demokrasi adalah sebuah rights-based politics, sebuah politik yang bertumpu pada hak. Ini dibuktikan dimana dasar dari konstitusi setiap negara demokratis terdapat pengakuan pada Hak Asasi Manusia sebagai hak konstitusional atau sebagai hak warga negara. Hak memerintah diri ini lahir dikarenakan suatu asumsi bahwa masing-masing orang sebagai individu lebih mengetahui dirinya sendiri atau lebih mengetahui kepentingan dirinya sendiri dibandingkan orang lain. Hak inilah kemudian yang kita mandatakan melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah kepada pemimpin atau perwakilan kita sebagai sesuatu bentuk representasi hak rakyat secara kolektif yang kemudian lebih jauh diartikan sebagai pemerintahan rakyat. Karena hanya kita yang mengetahui Kepetingan diri kita sendiri maka sudah selayaknya kita tidak melakukan “penipuan diri” dengan kebutuhan jangka pendek dan terlibat dalam kejahatan politik uang dengan menggadaikan hak asasi dan hak konstitusinal kita kepada sejumlah uang atau barang. Dampak Politik Uang Terhadap Pemilu dan Demokrasi Seperti disebutkan sebelumnya bahwa politik uang adalah usaha memperoleh kekuasaan dengan “membeli” dukungan dari pemilih atau partai politik yang oleh banyak pakar disebut sebagai korupsi elektoral karena merupakan perbuatan curang dalam pemilu yang hakikatnya sama dengan korupsi. Karena biaya politik yang tinggi yang diakibatkan oleh politik uang maka banyak kandidat harus mengeluarkan dana yang besar untuk menduduki jabatan tertentu sehingga muncul keinginan untuk mengembalikan “modal” saat pencalonan tersebut ketika dia terpilih. Korupsi politik adalah hasil dari politik uang dan ini sangat berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Penyelewengan kekuasaan dan juga dalah penyelewengan mandate rakyat (pemilih) yang dilakukan politisi untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompoknya dengan tujuan meningkatkan kekuasaan atau kekayaan mengakibatkan rakyat menjadi korban karena hak-haknya sebagai Warga Negara (Pemilih) terampas dan mencederai prinsip,kejujuran dan keadilan dalam demokrasi. Menjadi pemilih yang cerdas. Pemilih yang cerdas adalah mereka dengan kesadaran memilih memiliki sikap kritis dan rasional pada pemilu ataupun pemilihan, yaitu memahami hak konstitusionalnya sebagai warga negara untuk menggunakan hak pilihnya, memahami dan mengkritisi visi, misi dan program kerja para kandidat dan parpol serta tentu saja anti terhadap politik uang(money politics). Adapun aktivitas pemilih cerdas dalam pemilu dan pemilihan adalah sebagai berikut : Aktif mencari informasi tentang riwayat kandidat seperti latar belakang pendidikan, pekerjaan, aktivitas kemasyarakatan, riwayat perjuangan dan kepribadian dalam kehidupan kemasyarakatan. Aktif mencari informasi tentang visi, misi dan program kandidat. Aktif mencari informasi pemilu/pemilihan dan berperan serta dalam pelaksanaan setiap tahapan Aktif mengecek statusnya di DPS dan DPT online untuk memastikan apakah yang bersangkutan sudah terdaftar atau belum sebagai pemilih Aktif mengajak pemilih dan datang langsung ke TPS pada hari H untuk menggunakan hak pilih. Aktif mengikuti kegiatan kampanye untuk mengetahui lebih dalam visi, misi dan program kandidat Aktif awasi proses pemungutan suara di TPS dan penghitungan suara berjalan secara jujur dan adil Aktif memonitor rekapitulasi hasil hingga penetapan hasil suara di semua tingkatan ***

Apa yang paling Anda ingat dari penyelenggaraan Pemilu 2019? Selain polarisasi politik yang membelah rakyat Indonesia secara ekstrem, Anda tentu paling ingat dengan kejadian meninggalnya ratusan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pasca melaksanakan tugas. Data resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan bahwa sebanyak 894 orang petugas KPPS meninggal dunia dan 11.239 orang sakit setelah melaksanakan tugas sebagai garda terdepan penyelenggaraan Pemilu. Tragedi ini menjadi sorotan. Banyak lembaga yang melakukan riset untuk mengevaluasinya. Tim Kajian Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada (UGM) salah satunya. Hasil risetnya menyimpulkan bahwa meskipun meninggalnya anggota KPPS ini disebabkan faktor natural karena menderita penyakit lain yang sudah menahun, namun anggota KPPS memang kelelahan dalam melaksanakan pekerjaan. Beban kerja mereka sangat berat disebabkan keserentakan pemilu legislatif dengan pemilu presiden yang baru pertama kali dipraktikkan di Indonesia. Selain itu, kewajiban untuk menyelesaikan penghitungan suara pada hari yang sama dengan pemungutan suara menjadikan pekerjaan berproses tanpa jeda. Untuk melakukan proses pemungutan dan penghitungan suara, KPPS membutuhkan waktu sekitar 16-24 jam. Pemilu sebelumnya hanya memakan waktu 8-11 jam. Administrasi Pemilu yang rumit menjadi alasan panjangnya jam kerja. Salah satunya adalah karena surat suara yang tidak praktis dan menyebabkan petugas kesulitan menjalankan tugas mereka. Peliknya mengurus lima buah surat suara pada Pemilu 2019 tidak hanya menjadi problem petugas tetapi juga menjadi kesukaran pemilih. Dalam hasil survei yang diadakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terungkap bahwa 74% pemilih mengakui bahwa mencoblos surat suara sebanyak itu dalam waktu sekaligus sangat menyulitkan. Hasil survei ini menjawab fakta tingginya angka suara tidak sah pada Pemilu 2019 lalu. Pada Pemilu DPR misalnya, terdapat 11,12% suara tidak sah atau setara dengan 17,5 juta surat suara. Padahal secara global, surat suara tidak sah ini hanya ditoleransi pada kisaran 2-4% saja. Bahkan pada Pilpres yang surat suaranya relatif paling sederhana, terdapat 3,7 juta suara tidak sah. Coba simak lagi akibat apa yang ditimbulkan oleh hal yang terlihat sederhana, seperti desain surat suara. Dampak yang dirasakan setelah surat suara tersebut digunakan tidak hanya persoalan teknis dan manajemen, tapi sudah menyangkut nyawa manusia. Mau tidak mau, kita tidak punya alasan lagi, untuk tidak menyederhanakan surat suara. KPU sebagai penyelenggara teknis Pemilu harus melakukannya untuk Pemilu serentak berikutnya yaitu Pemilu 2024. Dengan penyederhanaan ini, kompleksitas Pemilu serentak di Indonesia bisa sedikit berkurang. Alasan yang kita simak di atas saja sudah mengerikan, apalagi sekarang ada situasi baru yang bisa menimbulkan kengerian yang lebih parah lagi lagi, yaitu pandemi COVID-19 yang belum bisa diprediksi kapan akan berakhir. Ini menjadi pendorong kenapa Pemilu 2024 harus diselenggarakan dengan surat suara yang lebih sederhana. Pada Pemilu 2019, rata-rata pemilih menghabiskan waktu di bilik suara selama 6 menit. Ditambah dengan proses validasi daftar pemilih, pengecekan surat suara oleh pemilih sebelum masuk ke bilik suara, serta waktu menunggu giliran, pemilih bisa menghabiskan waktu 15-20 menit di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Hal ini tentu akan menimbulkan antrean pemilih. Dalam konteks pandemi COVID-19, tentu saja antrean ini akan menyebabkan kerumunan dan berpotensi menjadi klaster baru penularan virus. Usul penyederhanaan surat suara ini sudah mulai diapungkan KPU sejak bulan lalu. KPU menawarkan enam desain surat suara. Masing-masing desain dengan konsekuensi bervariasi, mulai dengan cara tetap mencoblos, mencontreng dengan pena (seperti pada Pemilu 2009) atau menuliskan pilihan. Tentu saja sebagai sebuah terobosan kebijakan, usulan ini harus dilandasi regulasi yang jelas. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus direvisi, terkhusus pasal-pasal terkait seperti Pasal 342 Ayat (1), (2), dan (3) yang mengatur unsur-unsur yang tercantum dalam sebuah surat suara, Pasal 353 Ayat (1) tentang cara pemberian suara dengan mencoblos, Pasal 348 Ayat (4) tentang pindah memilih, dan Pasal 386 Ayat (1), (2), dan (3) tentang keabsahan surat suara. Tantangan awalnya adalah meyakinkan parlemen bahwa perubahan ini adalah langkah progresif dalam meningkatkan mutu pelaksanaan Pemilu di Indonesia, sehingga pasal-pasal tersebut bisa direvisi. Sebagai representasi rakyat dan utusan partai politik, politisi Senayan harus diyakinkan bahwa perubahan desain surat suara maupun mekanisme pemberian suara perubahan dinamika yang sudah ada dalam sejarah Pemilu Indonesia sejak tahun 1955. Tantangan berikutnya adalah mensosialisasikan perubahan ini pada seluruh rakyat Indonesia. Pemberian tanda pada surat suara pada pemilu dengan cara mencoblos sudah menjadi pengetahuan kolektif saat ini. Mengubah hal ini tentulah tidak mudah. Sosialisasi harus dilakukan secara masif, intens dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Termasuk kalangan yang belum melek huruf yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 berjumlah 3,62% dari total penduduk Indonesia. Kumpulan organisasi-organisasi kepemiluan internasional, ACE Electoral Knowledge Network memberikan konsep bahwa semakin sederhana surat suara, semakin efektif pemilu tersebut. Penegasan kesederhanannya terletak pada dua aspek penting yang harus dipertimbangkan, yaitu kemampuan pemilih dalam memahami pilihan-pilihan dalam surat suara dan akurasi penghitungan suara setelah proses voting dilaksanakan. Desain surat suara yang buruk selain membingungkan pemilih juga akan berkonsekuensi pada ruginya partai politik dan calonnya sebagai peserta Pemilu. Selain itu, ketidakjelasan desain dalam surat suara juga akan menimbulkan perdebatan dalam mengklasifikasikan perolehan suara untuk partai mana dan siapa calonnya, juga akan menimbulkan perdebatan dan berpeluang meningkatnya kasus sengketa hasil Pemilu. Ingat, kita tidak mau jatuh korban baru lagi karena Pemilu, ditambah lagi situasi pandemi ini juga belum tahu kapan ujungnya. Karenanya, ide penyederhanaan desain surat suara ini harus segera ditanggapi oleh para legislator. Jika sudah diatur dalam UU Pemilu, KPU harus segera membuat aturan teknis dan segera melakukan sosialisasi secara intens dan masif. Apalagi jika desain yang baru mengharuskan pemilih menandai pilihannya dengan cara selain mencoblos. Karena cara mencoblos telah menjadi memori kolektif yang lekat dalam ingatan rakyat Indonesia. Karenanya, sosialisasi peralihan ini harus dilakukan segera karena masih ada waktu sebelum Pemilu 2024 diselenggarakan. Proses perumusan kebijakan penyederhanaan surat suara ini tentu harus melibatkan semua unsur. DPR, KPU dan Bawaslu, partai politik sebagai peserta Pemilu, akademisi, dan perwakilan masyarakat sipil harus mencermati hal ini dari semua sisi. Spirit-nya, sekali lagi. adalah kemudahan dalam proses teknis prosedural Pemilu. Tentu saja tujuan penyederhanaan untuk kemudahan baik penyelenggara Pemilu maupun pemilih harus dilakukan tanpa menciderai pelaksanaan asas Pemilu itu sendiri, yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Ade Alifya, M.Si. ASN Sekretariat KPU Kota Padang Panjang, Sumbar. https://kumparan.com/ade-alifya/mendesak-penyederhanaan-surat-suara-pemilu-2024-1wboiwP8apF/full